Global Warming dan Pengaruhnya terhadap Climate Change
Perubahan iklim
dan cuaca yang sangat ekstrim merupakan salah satu dampak dari pemanasan global
yang dapat dirasakan secara langsung. Pada dasarnya, pemanasan global atau
biasa disebut global warming merupakan
fenomena peningkatan temperatur secara global meliputi peningkatan suhu
rata-rata atmosfer, laut, serta daratan di bumi. Hal ini terjadi karena
peningkatan timbunan gas-gas emisi seperti karbondioksida, metana, CFC, dan
dinitroksida di lapisan atmosfer bumi. Timbunan gas-gas emisi tersebut akan
menyebabkan terjadinya efek rumah kaca sehingga pantulan gelombang panjang
radiasi matahari (long wave radiation) yang dipantulkan bumi tidak dapat keluar
dan terperangkap di atmosfer bumi. Sebenarnya, timbunan gas-gas emisi pada
atmosfer ini dibutuhkan oleh bumi untuk menghalangi gelombang panjang radiasi
matahari agar tidak seratus persen keluar dari bumi. Hal ini bertujuan untuk
menangkap radiasi matahari agar tertahan di bumi sehingga bumi tetap hangat. Akan tetapi, jika timbunan
gas-gas emisi terjadi secara berlebihan, maka radiasi matahari yang terhalangi
keluar atmosfer bumi pun semakin banyak. Akibatnya temperatur di bumi semakin
meningkat.
Suhu rata-rata
global pada permukaan bumi meningkat 0,74 ± 0,18 0C (1,33 ± 0,32 0F)
selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, “sebagian besar
peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan
besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat
aktivitas manusia”. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30
bada ilmiah dan akademik, termasuk semua akademik sains nasional dari
negara-negara G8.
Pada awal 1896,
para ilmuan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah
komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan suhu rata-rata global. Hipotesis ini
dikonfirmasi pada tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program
penelitian global yaitu International
Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di
Hawai. Hasil pengukuran menunjukkan memang terjadi peningkatan konsentrasi
gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Para ahli
memprediksi, jika emisi gas rumah kaca terus meningkat maka konsentrasi karbon
dioksida di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipad pada awal abad
ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya akan terjadi
perubahan iklim secara dramatis. Karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer
selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali.
Pada tahun 2007,
laporan Kajian Keempat yang dilansir Panel antar Pemerintah mengenai Perubahan
Iklim (IPCC) mengungkapkan bukti-bukti tak terbantahkan bahwa iklim global
terus berubah karena kegiatan manusia. Sejak laporan pertama IPCC terbit pada
tahun 1990, pengetahuan ilmiah telah berkembang dan berbagai kebijakan telah
diterapkan di tingkat internasional, nasional, dan lokal. Reaksi internasional
yang paling menonjol adalah terhadap perubahan iklim. Konvensi Kerangka Kerja PBB
tentang Perubahan Iklim (UNFCCC – yang didirikan pada tahun 1992) dan Protokol
Kyoto (1997), fokus ditujukan pada mitigasi
(mengurangi penumpukan gas rumah kaca di atmosfer) dari pada adaptasi (mengurangi kerentanan
masyarakat dan ekosistem terhadap perubahan iklim.
Para ilmuan
memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari Belahan
Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan
memanas lebih dari daerah-daerah lain di bumi. Aibatnya, gunung-gunung es akan
mencair dan daratan akan semakin mengecil. Daerah-daerah yang sebelumnya
mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Daerah hangat
akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan.
Kelembaban tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata sekitar 1%
untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. Curah hujan global telah meningkat
sebesar 1% dalam seratus tahun terakhir yang menyebabkan badai lebih sering
terjadi. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat
dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih
ekstrim.
Ketika atmosfer
menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya
akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan global juga akan
mencairkan es di kutub terutama di sekitar Greenland, yang akan menambah volume
air laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10-25 cm (4-10
inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih
lanjut sekitar 9-88 cm (4-35 inchi) pada abad ke-21. Kenaikan permukaan air
laut akan mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi)
akan menenggelamkan 6% daerah Belanda, 17,5% daaerah Banglades, ≥50% rawa-rawa
pantai di Amerika Serikat, dan juga pulau-pulau kecil yang ada di dunia.
Yang mengalami
global warming bukan hanya keadaan suhu atau cuaca dunia. Hampir semua segmen
kehidupan manusia mengalami pemanasan. Salah satu segmen yang mengalami
pemanasan adalah sektor pertanian. Perubahan iklim yang tidak menentu menyebabkan
kemungkinan gagal panen menjadi lebih tinggi. Dampaknya akan merambat ke bidang
pekerjaan, dimana para petani membutuhkan lapangan pekerjaan lain untuk
mencukupi kebutuhan hidup karena sektor pertanian tidak bisa lagi mencukupi
kebutuhan hidup mereka.
Kepekaan
pemerintah akan dampak global warming sangat dibutuhkan. Indonesia adalah
negara agraris dimana sebagian besar warganya bekerja sebagai petani. Perhatian
lebih perlu diberikan kepada para petani, dimana hidup mereka sangat bergantung
dari hasil panen yang dipengaruhi oleh keadaan iklim. Jika perubahan iklim yang
tidak menentu terus terjadi maka tidak dapat dihindari lagi masalah
perekonomian pun akan muncul.
Kesadaran dan
kepeduliaan pemerintah terkait global warming masih dangkal. Salah satu penyumbang
gas emisi terbesar adalah sektor peternakan. Padahal kita tahu bahwa Indonesia
adalah salah satu negara yang mengandalkan sektor peternakan dalam pemenuhan
kebutuhan hidup. Kotoran yang dihasilkan sapi menyumbang gas metana terbesar
bagi atmosfer bumi. Tetapi tidak ada tindakan dari pemerintah untuk
menanggulangi masalah ini, seperti pembuatan pupuk kompos dari feses sapi, atau
pengelohan lainnya agar gas metana yang dihasilkan dapat berkurang.
Kurangnya
perhatian pemerintah akan masalah global warming semakin memperburuk dampaknya
bagi kehidupan. Masyarakat masih dibiarkan membakar sampah yang akan
menyumbangkan emisi karbondioksida. Sebagian besar hutan di Indonesia juga
telah dikonversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan, sehingga fungsinya sebagai
penyerap gas-gas karbon negatif tidak lagi dapat dimanfaatkan. Hal ini terjadi
karena manusia saat ini kurang memiliki rasa kepeduliaan akan keadaan alam,
yang menjadi pusat perhatiaan manusia saat ini hanyalah kepentingan hidupnya.
Segala sesuatu dilakukan berdasarkan atas kepentingan manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya yang semakin lama semakin berlebihan. Untuk itu diperlukan
kesadaran akan pentingnya keseimbangan ekologi dan ekosistem alam untuk
mencegah global warming menjadi semakin parah.
Penanggulangan
global warming dan climate change tidak hanya melalui proses mitigasi
(mengurangi penumpukan gas rumah kaca di atmosfer), tetapi juga melalui proses
adaptasi (mengurangi kerentanan masyarakat dan ekosistem terhadap perubahan
iklim).
Dewasa ini
adaptasi menjadi penting karena masyarakat mulai menyadari bahwa perubahan
iklim tidak bisa sepenuhnya dihindari. Peran hutan tropis dalam memitigasi
perubahan iklim melalui fungsinya yang dapat menyerap gas karbon negatif yang
ada di atmosfer telah diketahui dan disertakan ke dalam kesepakatan dan
instrumen kebijakan-kebijakan internasional. Hutan tropis dan proses adaptasi
memiliki ikatan ganda. Pertama hutan tropis perlu beradaptasi dan diadaptasikan
karena ia rentan terhadap perubahan iklim. Kedua hutan tropis diperlukan untuk
adaptasi karena ia membantu menurunkan kerentanan manusia terhadap perubahan
iklim.
Untuk menaggulangi masalah Global Warming dan Climate
Change harus dimulai dari diri sendiri. Pentingnya kesadaran akan bahaya dari
pemanasan global harus dimulai dari diri sendiri. Alam dan lingkungan sebagai
faktor utama yang dapat mengurangi dampak dari pemanasan global harus mulai
dijaga dan dilindungi. Sikap-sikap tidak peduli dengan keadaan alam harus
dihilangkan. Hal yang paling mudah yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak
dari pemanasan global adalah dengan mulai menanam pohon, mengurangi penggunaan
kendaraan bermotor, tidak membakar sampah, menjaga hutan agar tetap lestari,
dan melakukan hal-hal lainnya yang secara potensial tidak mengganggu ekosistem
lingkungan. Semuanya harus dimulai dari diri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Chang,
William. 2009. Bioetika. Yogyakarta:
Kanisius
Enterprise,
Jubilee. 2010. Membangun Kantor Ramah
Lingkungan dengan Internet. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Locatelli,
Bruno; Kanninen, Markku; Brockhaus; Colfer, Carol; Murdiyarso, Daniel; Santoso,
Heru. 2009. Menghadapi Masa Depan yang
Tak Pasti: Bagaimana Hutan dan Manusia Beradaptasi terhadap Perubahan Iklim.
Bogor: CIFOR
Komentar
Posting Komentar